Beranda | Artikel
Penanganan Janin Hidup dalam Rahim Ibu yang Wafat
22 jam lalu

Penanganan Janin Hidup dalam Rahim Ibu yang Wafat ini merupakan bagian dari kajian Islam ilmiah Kitab Shahihu Fiqhis Sunnah wa Adillatuhu yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Musyaffa Ad-Dariny, M.A. Hafidzahullah. Kajian ini disampaikan pada Senin, 12 Jumadil Awal 1447 H / 3 November 2025 M.

Kajian Tentang Penanganan Janin Hidup dalam Rahim Ibu yang Wafat

1. Penanganan Janin Hidup dalam Rahim Ibu yang Wafat

Jika tenaga medis memperkirakan janin dapat diselamatkan, tindakan penyelamatan mesti diambil. Proses penyelamatan dilakukan dengan cara membelah perut jenazah guna mengeluarkan janin. Tindakan membelah perut mayit pada dasarnya tidak dibolehkan dalam Islam. Namun, karena adanya maslahat (kemaslahatan) yang lebih besar, yakni menyelamatkan nyawa janin, tindakan tersebut menjadi dibolehkan.

Di sini berlaku kaidah fiqhiyyah ارتكاب أخف الضررين (Irtikab Akhaffid Darain), yaitu mengambil bahaya yang paling ringan.

Membelah perut mayit adalah suatu kemudaratan (bahaya). Namun, membiarkan janin meninggal di dalam perut mayit juga merupakan kemudaratan. Dari kedua kemudaratan ini, kemudaratan membelah perut mayit untuk menyelamatkan nyawa janin dianggap lebih ringan. Kemudaratan hilangnya nyawa janin jauh lebih besar daripada kemudaratan terbelahnya perut jenazah.

Oleh karena itu, jika pandangan tenaga medis menyatakan janin bisa diselamatkan dengan membelah perut mayit, itulah pilihan yang harus diambil. Sebaliknya, jika tenaga medis berpendapat janin tidak mungkin diselamatkan, perut mayit tidak boleh dibelah untuk mengeluarkan janin karena tindakan tersebut merupakan kemudaratan yang lebih besar tanpa menghasilkan kemaslahatan.

Seandainya setelah perut mayit dibelah dan janin dikeluarkan, ternyata janin tidak terselamatkan, pihak yang melakukan usaha tersebut tidaklah berdosa. Mereka telah melakukan upaya sesuai dengan perkiraan medis dan kemampuan manusia. Manusia hanya bisa berusaha, adapun hasilnya dikembalikan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Hal ini serupa dengan kasus amputasi yang dilakukan dokter atas dasar perhitungan medis untuk menyelamatkan pasien dari penyakit yang lebih parah. Jika setelah operasi amputasi pasien meninggal, dokter tersebut tidak berdosa karena telah berusaha sesuai dengan ilmu yang dimilikinya. Hasil akhir sesungguhnya berada di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan di tangan manusia.

2. Mandi Wajib Bagi Jenazah yang Berhadas Besar

Jenazah yang meninggal dalam keadaan junub, haid, atau nifas memiliki dua sebab yang mewajibkan mandi, yaitu statusnya sebagai mayit (wajib dimandikan) dan status hadas besar (junub/haid/nifas). Jenazah tidak perlu dimandikan dua kali, cukup sekali mandi saja. Sekali mandi tersebut sudah mencukupi untuk dua sebab mandi wajib yang ada pada jenazah.

Perkara ini seperti ketika berkumpulnya dua sebab hadas besar pada seseorang yang masih hidup, seperti junub dan haid. Seorang wanita yang berjunub lalu haid sebelum mandi, cukup mandi sekali saja setelah suci dari haid. Mandi tersebut sudah mencukupi untuk menghilangkan hadas besar dari dua sebab yang berbeda.

Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: إنما الأعمال بالنيات “Sesungguhnya setiap amalan itu tergantung niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

3. Hukum Mandi Bagi Orang yang Memandikan Jenazah (al-Ghasil)

Hukum mandi bagi orang yang memandikan jenazah (al-ghasil) adalah sunnah (dianjurkan), tidak sampai pada derajat wajib.

Pendapat ini didasarkan pada hadits:

مَنْ غَسَّل الميـِّت فلْيَغْتَسلْ

“Barang siapa yang memandikan mayit, maka hendaklah dia mandi.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad, dikuatkan oleh Syaikh Albani)

Perintah dalam hadits ini diartikan sebagai anjuran (sunnah), bukan kewajiban (wajib). Hal ini dikuatkan oleh atsar dari sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, yang mengatakan:

ليس عليكم في غسل ميتكم غسل إذا غسلتموه

“Tidak ada kewajiban atas kalian untuk mandi ketika kalian memandikan mayit kalian.”

Adanya atsar ini mengubah makna perintah yang ada dalam hadits menjadi anjuran. Pendapat bahwa mandi wajib setelah memandikan jenazah adalah sunnah merupakan pandangan mayoritas ulama dan merupakan pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini.

4. Mengganti Mandi Jenazah dengan Tayamum

Apabila air tidak tersedia untuk memandikan jenazah, atau air tersedia namun tidak mungkin digunakan karena kondisi jenazah, maka yang harus dilakukan adalah mentayamumkan jenazah. Mandi jenazah diganti dengan tayamum.

Jika air tersedia tetapi tidak dapat digunakan karena kondisi mayit, seperti tubuh mayit sudah rapuh akibat pembusukan berhari-hari atau merupakan korban kebakaran yang memandikannya dapat merusak jasadnya, jenazah tidak boleh dimandikan. Dalam kondisi ini, tayamum menjadi pengganti yang wajib dilakukan.

Perintah untuk bertayamum ketika tidak ada air disebutkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا

“Kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci).” (QS. Al-Maidah[5]: 6)

5. Hukum Membungkus Jenazah dengan Plastik Sebelum Dimandikan

Pada kondisi covid-19, terdapat praktik membungkus jenazah dengan plastik sebelum dimandikan atau dikuburkan. Apabila jenazah diperlakukan seperti ini—dibungkus plastik sebelum dimandikan—maka kedua proses pensucian (mandi dan tayamum) tidak dapat dilakukan.

Dimandikan tidak bisa, demikian pula ditayamumkan. Hal ini disebabkan karena wudhu dan mandi (atau tayamum) harus menyentuh kulit atau anggota badan yang disucikan. Jika terhalang oleh plastik, air atau debu tayamum tidak dapat menyentuh kulit jenazah, sehingga proses penyucian menjadi tidak sah.

Oleh karena itu, praktik membungkus jenazah dengan plastik sebelum dimandikan seharusnya tidak dilakukan. Seharusnya jenazah dimandikan terlebih dahulu, barulah setelah itu dibungkus plastik apabila dianggap perlu.

6. Hukum Membongkar Kuburan untuk Memandikan Jenazah

Jika jenazah telah dikuburkan sebelum sempat dimandikan, mayoritas ulama berpendapat bahwa jika kuburan masih memungkinkan untuk dibongkar dan tubuh jenazah masih memungkinkan untuk dimandikan, hal tersebut wajib dilakukan. Ini merupakan hak jenazah yang harus ditunaikan oleh mereka yang masih hidup.

Kewajiban memandikan jenazah (Fardu Kifayah) tidak dapat terwujud kecuali dengan membongkar kuburan mayit. Dalam hal ini, berlaku kaidah: الوسائل لها أحكام المقاصد (Al-Wasa’il laha Ahkamul Maqasid), yaitu perantara menuju suatu tujuan mengambil hukum tujuan itu sendiri. Karena memandikan jenazah adalah wajib, membongkar kuburan yang merupakan perantara untuk melakukan kewajiban tersebut menjadi wajib pula.

Bukti adanya praktik pembongkaran kuburan pernah terjadi di zaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Diriwayatkan dari sahabat Jabir Radhiyallahu ‘Anhu, bahwa:

“Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah mendatangi kuburan Abdullah bin Ubay setelah dimasukkan ke liang kuburnya. Beliau memerintahkan agar Abdullah bin Ubay dikeluarkan dari kuburannya. Kemudian Beliau meletakkan jasadnya di atas paha Beliau, meniupnya dengan tiupan yang disertai air liur, dan memakaikan gamis Beliau kepadanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Perlu diketahui, anak Abdullah bin Ubay yang bernama Abdullah bin Abdullah bin Ubay adalah seorang sahabat Nabi yang mulia. Ia meminta kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam agar memakaikan pakaian (gamis) Beliau kepada ayahnya. Setelah dikabulkan, jenazah Abdullah bin Ubay dikuburkan kembali.

Membongkar kuburan demi memakaikan pakaian untuk mayit, padahal ini bukan sesuatu yang wajib, sudah dibolehkan. Apalagi membongkar kuburan untuk menunaikan sesuatu yang hukumnya wajib, yaitu memandikan jenazah, maka hal itu lebih dibolehkan lagi. Bahkan, menurut mayoritas ulama, tindakan tersebut merupakan suatu kewajiban.

Download mp3 Kajian


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/55752-penanganan-janin-hidup-dalam-rahim-ibu-yang-wafat/